Sebagai unit terkecil dari system masyarakat, keluarga merupakan fondasi awal dalam pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa, membangun keluarga tentunya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan terlebih lagi ditengah tantangan globalisasi dunia saat ini.
Bangsa Indonesia tentunya harus memberikan perhatian ekstra dalam peningkatan fungsi keluarga demi mewujudkan visi pembangunan nasional “Indonesia Emas 2045” salah satu aspek yang harus dibangun adalah fungsi sumber daya manusia Indonesia hal ini terkait dengan adanya bonus demografi sebesar 52% pada tahun 2030 hingga 2035 hal ini dapat berdampak positif jika dari sekarang kita mulai berbenah diri dalam pembangunan SDM di Indonesia dan tentunya jika pembangunan SDM ini gagal maka bonus demografi ini akan menjadi beban kelak di kemudian hari.
Pembangunan SDM bukan hanya dibebankan pada institusi atau sektor pendidikan tetapi keluarga akan menjadi unit fundamental dalam hal ini sebagai unit interactional pertama untuk seorang individu beriteraksi sebagai makhluk sosial. Keluarga menurut hemat saya adalah sebuah unit interaksi secara fisik dan emotional yang di dalamnya terdapat sistem pembagian peran yang bersifat hirarki, memiliki muatan budaya dan nilai serta agama, memiliki fungsi pendidikan dan pengawasan.
Di dalam ilmu Psikologi keluarga dikenal sebuah pendekatan systemic family functioning dimana melihat keluarga sebagai suatu konsep satu kesatuan (holistic) yang terdiri atas sub-sistem yakni marital relationship (hubungan pernikahan), Parenting (pola pengasuhan) dan sibling (hubungan antar saudara) serta keterkaitan sub-system tersebut dengan unsur-unsur eksternal seperti lingkungan keluarga tersebut (seperti; tempat tinggal, sekolah, dan tempat bekerja) juga extended keluarga.
Family functioning berhubungan dengan faktor-faktor seperti kemampuan keluarga dalam mengadopsi perubahan, mengatasi konflik dan inkonsistensi, menjaga komunikasi antar anggota keluarga, menyediakan pola disiplin, serta pertimbangan batas antar anggota dan peran dengan tujuan pemeliharaan sistem seluruh keluarga.
Keluarga dibagi dalam dua jenis fungsional dalam hal ini adalah keluarga fungsional dan keluarga non-fungsional, keluarga fungsional merupakan sistem yang terbuka, mampu mengatasi konflik, menjalankan fungsi dan perannya serta dapat saling mendukung dalam pengembangan identitas individu masing-masing anggotanya.
Sedangkan keluarga yang tidak dapat berfungsi dengan baik dalam hal ini non-fungsional adalah sebuah sistem yang tertutup dan mengalami hambatan emosional dalam proses interaksinya, batasan antar keluarga cenderung ambigu dan masing-masing anggotanya sulit untuk mengmbangkan identitas individual mereka sendiri, hal ini menyebabkan keluarga non-fungsional akan sulit untuk mengatasi konflik dan menemukan solusi dalam mengatasi konflik yang timbul.
Setidaknya ada enam dimensi yang harus dipenuhi oleh keluarga untuk dinyatakan sebagai keluarga yang baik atau tidak berfungsi menurut pakar psikologi keluarga Epstein, Bishop dan Levin dan dikenal sebagai McMaster Model of Family Functioning (MMFF) enam dimensi tersebut terdiri atas: 1). Penyelesaian masalah /Problem solving, 2). Komunikasi/Communication, 3). Peran/Roles, 4). Respon afektif/Affective Respond, 5). Keterlibatan afektif/ Affective Involvement , 6). Kontrol Perilaku/ Control Behavior.
Pada terapi keluarga penggunaan MMFF dijadikan sebagai assessment awal untuk mengetahui peluang konflik berada pada setiap dimensi, hal ini akan memudahkan terapis untuk menentukan pendekatan dalam pemecahan konflik disuatu keluarga.
Dengan mengetahui konsep teoretis keluarga hal ini tentunya akan membantu setiap keluarga khususnya orang-tua dalam hal ini sebagai pemegang kendali atas keluarga untuk mampu mempersiapkan generasi yang sejahtera secara fisik dan psikologis demi terwujudnya generasi emas Indonesia 2045.
Penelitian menemukan korelasi positif antara fungsi keluarga dengan tingkat well-being (kesejahteraan) setiap anggotanya. Dengan demikian keluarga sejak dini harus lebih menyadari pentingnya pola-pola interaksi dalam keluarga sebagai salah satu faktor dalam kesejahteraan secara psikologis, tingkat kebahagiaan dan perkembangan fisik.
Walau demikian tidaklah mudah untuk menerapkan konsep-konsep teoretis ini dalam kehidupan sesungguhnya ada banyak tantangan-tantangan yang harus dilalui oleh keluarga Indonesia, kemajuan teknologi informasi menyebabkan arus informasi sulit untuk dikontrol, sarana dan prasarana pendidikan dan sistem kesehatan yang masih belum merata di Indonesia, hingga kondisi ekonomi, sosial budaya hingga maraknya isu-isu extremism menjadi tantangan berat bagi setiap keluarga dalam menetapkan nilai dan pendidikan di lingkup keluarga.
Tidak selalu mudah dalam membangun keluarga, namun tidak mustahil untuk mewujudkan impian keluraga sejahtera Indonesia hingga mewujudkan Generasi Emas 2045, tidak sulit, cukup melakukan hal-hal yang sederhana, sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah karena membangun keluarga seperti halnya membentuk sebuah kebiasaan mengutip kalimat bijak dari Aristoteles “We are what we repeatedly do, Excellence therefore is not an act but a habit”
Pada intinya Kebiasaan adalah sebuah kesuksesan, untuk itu BKKBN telah memberikan hal-hal sederhana yang cukup applicable untuk di terapkan hal yang pertama adalah perbaiki pola komunikasi antar anggota keluarga biasakan untuk mengalokasikan waktu sebsar 20 menit setiap harinya untuk berkumpul bersama keluarga tanpa melakukan hal-hal lain seperti menonton televisi ataupun bermain gadget, yang kedua adalah tingkatkan interaksi, tidak hanya dengan keluarga inti tapi juga dengan keluarga besae, seperti mengajak anak untuk ikut acara arisan keluarga, pernikahan hal ini akan membuat anak saling mengenal satu sama lain dan menigkatkan rasa peduli satu sama lain, ketiga kenali potensi setiap individu dalam keluarga dan saling mendukung untuk mengembangkannya hal ini akan menjadikan anggota keluarga merasa diterima dan percaya diri akan kemampuannya sehingga akan menjadikan anak khususnya menjadi lebih mandiri, ke empat peduli dan berbagi hal ini dilakukan dengan membiasakan anak untuk berbagi atau mendonasikan barang-barang pribadinya kepada orang yang membutuhkan tanpa memperdulikan latar belakang agama, etnis dan status sosial.
Selain itu kenali konflik sedari dini dalam kelurga, keluarga tidak akan pernah terlepas dari konflik, namun ada beberapa jenis konflik yang tidak sehat, adapun jenis-jenis konflik yang tidak sehat adalah jika dalam keluarga sering terjadi kritikan dari salah satu anggotanya, adanya permusuhan, rasa superiotas, penghinaan hingga penarikan diri, jika menemukan tanda-tanda konflik seperti ini segeralah untuk mengkomunikasikannya, jika tidak dapat terselesaikan maka sebaiknya untuk segera menghubungi bantuan professional dalam hal ini psikolog atau counselor keluarga. Saat ini di Indonesia ada banyak universitas-universitas yang menawarkan jasa pelayanan psikologi dalam pengembangan SDM salah satunya dengan memberikan layanan terapi keluarga, hingga layanan e-counseling yang dapat ditemukan di platform online.
Akhir kata penulis ingin mengucapkan selamat hari Keluarga Nasional dan sekali lagi tidaklah mudah bekerja didalam keterikatan emosional disertai dengan ekspektasi individual terhadap individu lainnya hal ini akan terlihat jelas dalam membangun keluarga, namun seiring dengan kekonsistenan untuk tetap saling berkomunikasi satu sama lainnya, membuka diri, fleksibel atas perbedaan-perbedaan. bekerja keras dan menciptakan harmonisasi maka selangkah demi selangkah kita akan mewujudkan Generasi Emas Indonesia 2045.
Oleh:
Patmawaty Taibe
PhD kandidat pada School of Psychology, Central China Normal University Wuhan Tiongkok
Peneliti pada Pusat Kajian Sosial Ekonomi Budaya PPIT